Selasa, 08 September 2015

[Book Review] Kambing & Hujan by Mahfud Ikhwan






Judul: Kambing & Hujan
Pengarang: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2015
Tebal: 380 Halaman

“Bukankah berusaha mendapatkan istri hebat dan cantik yang kita cintai, yang kita yakini bisa menemani kita dunia akhirat, adalah ibadah? Dulu aku berpendapat begitu. Dan sekarang, setelah puluhan tahun hidup bersama budemu, aku tetap menganggapnya demikian.”

Miftahul Abrar dan Nurul Fauzia berjumpa kali pertama di bus. Lalu saling jatuh cinta. Usut punya usut, Mif dan Fauzia berasal dari desa yang sama, Centong. Tapi dengan fakta tersebut tak lantas membuat rencana mereka untuk menata masa depan bersama berjalan dengan mulus.

Pada tahun 60-an di Centong muncul gerakan pembaruan. Gerakan ini beranggapan kalau ada beberapa hal tentang Islam yang dipahami dan dianut di desa tersebut selama ini kurang tepat. Karenanya gerakan yang diikuti oleh pemuda-pemuda ini bersemangat untuk membangun masjid mereka sendiri agar bisa menjalankan ibadah sebagaimana yang mereka yakini sekaligus menghindari perselisihan berkepanjangan akibat berbeda paham. Jadilah di Centong terdapat dua masjid yang disebut Masjid Selatan dan Masjid Utara.

Sialnya, kedua orangtua Mif dan Fauzia sama-sama merupakan tokoh yang disegani di masing-masing masjid. Mustahil untuk mereka melewati tembok tinggi tak kasat mata yang telah terbangun sejak lama itu.

Tapi kemudian mereka mengetahui satu hal, tembok tinggi itu bukan masalah utara-selatan yang selama ini mereka yakini, tapi berhubungan dengan rahasia-rahasia masa lalu orangtua mereka. Akar masalahnya justru berawal dari sebuah hubungan baik yang merenggang akibat keadaan.

“Tahu apa kamu tentang kegagalan?”
“Saya cuma tak ingin mengalaminya.”
“Dan, aku, bapakmu, adalah orang yang paling tidak ingin kamu mengalaminya.”

Ketertarikan saya pada buku ini semata-mata karena buku ini merupakan naskah pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2014. Label tersbeut buat saya menjadi jaminan kalau bukunya akan bagus. Saya pikir karena buku ini merupakan pemenang sayembara menulis tersebut, isinya bakal njelimet dan penuh metafora seperti naskah pemenang di tahun 2012, “Semusim, dan Semusim Lagi”, ternyata sama sekali tidak. Malah gaya tutur penulisnya ringan, mudah dicerna, tidak bertele-tele dan apa adanya. Cuma memang tema yang diangkat yang cukup berat; Islam dengan aliran berbeda.

Alurnya acak tapi tidak membuat pusing. Sudut pandang yang digunakan bercampur antara orang ketiga dan orang pertama, tapi mengalir begitu saja tanpa menimbulkan kesan aneh. Gaya narasi ketika sudut pandang pertama, menggunakan “aku” dari dua karakter berbeda, walaupun gaya narasi tersebut senada, tapi masing-masing “aku” mudah dibedakan.

Hal lain yang saya kagumi adalah buku ini diceritakan apa adanya tanpa terlihat pro aliran ini atau itu. Kadang ada beberapa buku yang mengangkat tema pelik lain yang malah isinya judgy dan pro di satu pihak. Dan hal tersebut tidak ditemukan di buku ini, tidak ada kesan memojokkan satu pihak.

Bagian yang saya suka dari buku ini adalah bagian surat-surat Is dan Moek yang menggunakan ejaan lama dan bahasa mendayu-dayu. Saya juga suka bagian ketika Is dan Moek bertemu lagi yang dituliskan hanya lewat percakapan, tanpa narasi. 

Mengutip buku ini “Tidak ada yang salah menjadi berbeda”. Ya, memang tidak ada yang salah dari perbedaan. Berbeda tidak lantas membuat salah satu menjadi salah. Yang paling penting adalah menghargainya. Bukan menghakiminya.


“Anak memang sering tak mau melibatkan ibunya dalam masalahnya. Mungkin karena si anak tak ingin ibunya ikut susah. Mungkin juga karena si anak tak yakin ibunya bisa membantu. Tapi, Mif, Anakku, seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya.”

“Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda.”
  

RATING: 5/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar