Jumat, 19 Agustus 2016

[Book Review] Gadis-Gadis Misterius: Seorang Remaja Kesepian, Sebuah Sekte, dan Sebuah Rencana Berbahaya






Judul: Gadis-Gadis Misterius (The Girls)
Pengarang: Emma Cline
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Juli 2016
Tebal: 360 halaman

“Itulah kali pertama aku melihat Suzanne—rambut hitam yang membuatnya berbeda, bahkan dari kejauhan, senyumnya padaku yang terang-terangan dan menilai. Aku tidak bisa menjelaskan pada diri sendiri, ada emosi yang melilitku saat melihatnya. Dia kelihatan seaneh dan semurni bunga-bunga yang mekar dalam ledakan warna mencolok lima tahun sekali, godaan norak dan mengganggu yang nyaris sama dengan keindahan. Dan apa yang dilihat gadis itu saat menatapku?”

Mengambil setting utama tahun 1969, dengan alur maju-mundur, The Girls bercerita tentang Evie Boyd, seorang remaja berumur empat belas tahun. Dia anak semata wayang, ayahnya meninggalkan Evie dan ibunya demi wanita lain. Sejak saat itu ibu Evie semakin abai padanya, sibuk menghamburkan uang warisan nenek Evie dan bersenang-senang dengan laki-laki baru.

Kali pertama melihat sekumpulan gadis-gadis misterius itu, Evie terpesona. Gadis-gadis itu menarik perhatian dengan pakaian lusuh yang mereka kenakan sekaligus aura misterius ketika mereka berjalan melewati Evie. Tapi ada seorang gadis yang amat menarik perhatiannya, belakangan diketahui gadis itu bernama Suzanne.

Lewat ketaksengajaan, Evie suatu hari diajak oleh sekumpulan gadis itu untuk berkunjung ke tempat mereka tinggal. Di peternakan tak terurus itu Evie semakin mengagumi kelompok yang lebih menjurus ke sekte itu. Apalagi ketika Evie bertemu langsung dengan pemimpinnya, Russel.

Di sana Evie merasa diakui, diterima sebagai keluarga. Hal yang selama ini tak dia dapatkan. Ditambah dengan hubungannya yang renggang dengan sahabatnya, Connie akibat kesalah yang tidak sengaja dia perbuat. Evie memutuskan untuk tinggal dengan kelompok tersebut. Dia ingin meninggalkan kehidupan remajanya yang kesepian dan membosankan, menjadi seorang gadis yang punya kehidupan bebas dan tinggal bersama gadis-gadis lainnya.

Evie menyadari bahwa dia punya obsesi tak wajar pada Suzanne, dan itu menjadi alasan terkuat dia memutuskan tetap tinggal. Tapi dia semakin melihat pemujaan yang begitu tinggi Suzanne ke Russel. Dan rencana berbahaya Russel terhadap Mitch, seorang produser musik yang ingkar janji, semakin membuat Evie kembali mempertanyakan keputusannya.

“Kadang-kadang aku bermimpi, lalu aku terbangun pada akhir mimpi dan menganggap suatu bayangan atau fakta itu benar, membawa asumsi itu dari dunia mimpi ke kehidupan nyataku saat terjaga.”

Setelah selesai membaca kisah Evie dan para gadis misterius di buku ini saya buru-buru mencari tahu tentang Manson (Family) Cult, saya penasaran sebab banyak reviewers yang mengaitkan kisah di buku ini dengan “peristiwa tragis” yang dilakukan oleh Manson Cult di tahun 1969 (sama dengan setting di buku ini). Dan kesimpulan saya sehabis membaca beberapa artikel dari hasil pencarian Google? Sepertinya buku ini memang dapat dibilang terinspirasi dari kejadian tersebut. Beberapa detail memang disamarkan namun tetap terasa mirip, kalau kamu anti spoiler dan punya rencana untuk membaca buku ini dalam waktu dekat, sebuah keputusan bijak untuk tidak menjadi tahu dulu tentang Manson Cult.

Membaca buku ini bagai sedang melakukan perjalanan menarik namun melelahkan. Alurnya lambat. Banget. Terutama di bagian ketika Evie mulai menjadi bagian dari gadis-gadisnya Russel. Ini menjadi salah satu faktor utama kenapa butuh waktu lama untuk menyelesaikan buku ini. Faktor lain yaitu: ada bagian-bagian yang membuat saya tidak nyaman ketika membacanya, buku ini kurang cocok dibaca oleh remaja, banyak bagian-bagian vulgar yang bahkan saya sendiri pun malu ketika membacanya.

Lalu gaya narasi serta diksinya. Narasi dan diksinya amat unik, rumit, namun memesona. Kerumitannya membutuhkan perhatian dan waktu ekstra untuk dicerna, tapi dis tulah pesonanya. Hal tersebut tak lepas dari peran dari penerjemah buku ini yang telah melakukan tugasnya dengan baik, tanpa terjemahan sebagus ini bisa jadi bukunya akan terasa hambar.  Sedikit saya kutip bagian dari narasi yang saya suka:

“...Itu hanya bagian dari menjadi seorang gadis—kau harus menyesuaikan umpan balik apa pun yang kaudapatkan. Jika marah, berarti kau gila, jika tak bereaksi, berarti kau jalang. Satu-satunya yang bisa kaulakukan adalah tersenyum dari sudut tempat mereka mendesakmu. Melibatkan diri dalam lelucon, bahkan meskipun lelucon itu sellau tertuju kepadamu.” (Hal. 59)

Dan, 

“Saat itu aku membayangkan pernikahan sebagai sesuatu yang sederhana dan didambakan. Ketika seseorang berjanji untuk menyayangi kita, berjanji bahwa mereka akan menyadari jika kita sedih, atau lelah, atau membenci makanan yang terasa bagaikan dinginnya kulkas. Yang berjanji hidup mereka akan berjalan paralel dengan hidup kita. Ibuku pasti tahu tapi tetap tinggal, lalu apa arti cinta jika demikian? Cinta tidak akan pernah aman—seperti refrein lagi sedih yang putus asa: kau tidak mencintaiku seperti aku mencintaimu.
Satu hal yang paling menakutkan: Mustahil untuk langsung mendeteksi sumbernya begitu keadaan berubah. Bagaikan melihat punggung seorang perempuan bergaun rendah tapi disisipi kesadaran akan kehadiran istri di ruangan lain.” (Hal. 85)

Setuju kan kalau saya menggunakan istilah “memesona” untuk menggambarkan narasinya? ;) Dan yang terpenting, bagian terfavorit saya adalah ending-nya. Tepatnya bab terakhir dari Bagian Tiga dan Bagian Empat (yang menjadi penutup). Rasa penasaran saya kembali muncul, saya bahkan tak berani untuk menebak-nebak bagaimana buku ini akan diakhiri.

Untuk diketahui, manuskrip The Girls ini sempat menjadi rebutan untuk dibeli hak terbitnya oleh beberapa penerbit mayor. Bahkan jauh sebelum diterbitkan, The Girls sudah lebih dulu dibeli hak ciptanya untuk diadaptasi ke layar lebar oleh produser terkenal, Scott Rudin (No Country for Old Men, The Truman Show, The Social Network). Tak terlalu mengejutkan sih, premisnya boleh dibilang segar dan jarang dijamah penulis lain. Hmm.. jadi penasaran akan seperti apa film adaptasinya nanti.

“Sasha yang malang. Gadis-gadis malang. Dunia menghujani mereka dengan janji akan cinta. Betapa besar mereka membutuhkannya, dan betapa kecil yang akan didapat sebagian besar dari mereka. Lagu-lagu pop semanis cairan gula, gaun-gaun dalam katalog yang digambarkan dengan kata-kata seperti ‘matahari terbenam’ dan ‘Paris’. Kemudian, mimpi-mimpi mereka direnggut oleh semacam kekuatan kejam; tangan yang membuka paksa kancing-kancing celana jins, tidak ada yang menoleh pada lelaki yang meneriaki pacarnya di bus. Kesedihan memikirkan Sasha mencekik kerongkonganku.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar